Social Icons

Pages

Thursday 13 June 2013

Metodologi Berpikir Marhaenis

Sebagai kader ideologis (seorang marhaenis) yang melakukan perjuangan untuk kepentingan rakyat demi tercapainya tujuan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur adalah merupakan hal yang wajar dan wajib kalau metode berpikir kaum marhaenis memihak kepada kepentingan rakyat.
Berdasarkan i'tikad yaitu memihak kepada rakyat, maka kaum Mahaenis berpikir secara Realitas, Dialektis, dan Revolusioner.

1.       Realistis
Realistis disini mempunyai maksud adalah melihat, berpikir dan bersikap kepada segala sesuatu apa bila hal tersebut memenuhi sebagai “kenyataan yang benar dan kebenaran yang nyata “.
Contoh :
UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara; apakah ini nyata ?, ini memang nyata, sebagai suatu kenyataan ini tidak benar. Benar UUD 1945 menyatakan demikian tapi isi UUD tersebut tidak nyata.

2.       Dialektis
Sebagai suatu akibat adanya suatu kejadian atau persoalan pastilah ada sebabnya, dan sebab itu sendiri pastilah ada penyebab.
Dalam proses mencari penyebab dalam suatu permasalahan itu maka akan di temukan adanya saling hubungan antara kondisi dari ruang, waktu dan persoalan dan adanya perubahan kualitatif menuju kuantitatif, dan kuantitatif menuju kualitatif atau (nagasi terhadap nagasi) yang di sebabkan karena adanya pertentangan atau perbedaan.

a.       Adanya hubungan antara ruang, waktu dan persoalan.
                                                              i.      Hubungan antara ruang dan ruang.
Contoh :
-          Adanya banjir yang disebabkan gundulnya hutan dan gunung-gunung.
-    Di Irak ada peperangan karena adanya kepentingan kapitalis-kapitalis di Amerika

                                                            ii.      Hubungan antara waktu dan waktu.
Contoh :
-      Rakyat RRc Sekarng sebagian besar jadi komunis tidak dapat dipisahkan dari jaman-jaman sebelumnya, dimana pejuang nasional Dr. Sun Yat Sen dimusuhi oleh Inggris dan AS yang memaksa ia berpaling dari Rusia.
-           
                                                          iii.      Hubungan antara Persoalan dan persoalan (materi dan materi)
Contoh :
-     Matinya perusahaan- perusahaan nasional ada hubungannya dengan politik impor-ekspor. Tahun 1956 ada pemberontakan PRRI-PERMESTA yang ditumpas oleh Jendral A. Yani, tahun 1965 Jend. A. Yani dibunuh dalam GESTOK kemudian tahun 1968 bekas pemberontakan PRRI-PERMESTA di rehabillitasi bahkan tokohnya ada yang menjadi menteri.

b.      Adanya Perkembangan / perubahan-perubahan.
                                                              i.      Perubahan Kualitatif – Kuantitatif
Contoh:
-          sebuah jagung berubah secara kualitatif menjadi biji kemudian berkembang secara kuantitatif menjadi batang jagung sampai berubah yang sekaligus berkembang secara kualitatif dan kuantitatif. Inilah yang disebut dengan hukum nagasi terhadap nagasi.

                                                            ii.      Perbedaan/ pertentangan/ kontadiksi,
Adanya  perubahan tersebutu disebabkan karena adanya perbedaan-perbedaan, demikian juga terjadi dikalangan masyarakat dan diantara negara-negara manapun di dunia.
Contoh :
-        Hitler berekpansi (menguasai) dengan dalih “kejayaan bangsa aria yang luhur”. Hal ini sebenarnya sekedar propaganda atau bahan agitasi, kemudian diikuti dengan pembunuhan masal pada kaum yahudi, dimana kaum yahudilah  yang menguasai perekonomian Jerman, sehingga ras Aria dapat mengambil alih kekuasaan ekonomi.
   
                                                          iii.      Pertentangan antagonis dan pertentangan non antagonis (kontradiksi pokok dan kontradiksi tidak pokok).
Kontradiksi pokok adalah kontradiksi  (pertentangan) yang harus segera di tanggulangi dan pihak-pihak yang saling berkontradiksinya dengan cara konfrontasi.
Kontradiksi yang tidak pokok masih dapat diselesaikan dengan konsultasi daja dan diplomasi tidak perlu saling konfrontasi.
Perubahan kontradiksi pokok ke kontradiksi tidak pokok dan sebaliknya dinamakan juga dengan istilah transutasi.
Contoh :
-          Pertentangan antar kaum nasionalis, islam dan komunis dimasa penjajahan bisa diselesaikan denganjalan diplomasi. Karena pertentangan diantara golongan pada saat itu merupakan kontradiksi tidak pokok, sedangkan pokoknya adalah antar rakyat melawan penjajah.

3.       Revolusioner
Revolusioner artinya menjebol dan membangun, berwatak dinamis untuk menjebol dan membangun. Hanya orang yang mampu memberikan konsep-konsep  penyelesaian masalah dan sekaligus mampu menyingsingkan lengan baju tanpa menghitungkan untung rugi untuk pribadinya.
Seorang revolusioner yang memihak rakyat pastilah progresif, mengetahui perkembangan jaman, mengerti keharusan sejarah bagi rakyat. Kalau tidak demikian dia hanya seorang retro progresif Revolusioner, jadi revolusioner itu ada dua yaitu progresif Revolusioner dan Retro progresif Revolusioner, yang satunya memberikan masa depan dan yang satunya menjerumuskan.

Dapat kita artikan arti Revolusioner untuk kaum marhaen adalah :
1.       Berwatak Dinamis, terus-menerus dan ingin bergerak.
2.       Memihak rakyat, selalu waspadaterhadap segala gerak musuh rakyat.
3.       Melihat dan membawa rakyat untuk masa depan yang gemilang.
4.       Tidak menghitung untung rugi buat pribadi, asalkan menguntungkan revolusi dan rakyat

Akan tetapi, disamping itu kader-kader mesti juga punya konsepsi maupun pelaksana. Pelaksanaan yang cukup tangguh untuk mengganti segala sesuatu yang di jebolnya, karena menjebol tanpa membangun itu namanya anarki, hanya amuk-amukan.

Sunday 9 June 2013

Nasionalisme Di Indonesia

Seiring dengan berjalannya waktu berbagai perusahaan swasta serta organisasi pemerintahan semakin membutuhkan tenaga terampil untuk menopang bekerjanya sistem. Kondisi tersebut mengharuskan pemerintah kolonial membuka berbagai sekolah modern agar diperoleh tenaga terampil. Dalam proses pendidikan dengan mengenalkan pola pikir yang mengandalkan pada rasio tersebut membawa pengaruh pada bangsa Indonesia. Elite yang sebelumnya masih didominasi oleh kalangan bangsawan (elite tradisional) kemudian mulai tersaingi dengan elite profesional/modern karena tidak semua yang didik itu berasal dari kalangan bangsawan. Dan tidak semua bangsawan semuanya rela dan siap mengikuti pendidikan modern.
Hasil yang diharapkan (intended result) dari lembaga pendidikan modern adalah diperolehnya tenaga terampil yang siap pakai. berbagai perusahaan swasta maupun kantor pemerintahan tidak lagi harus tergantung pada bangsa Eropa yang didatangkan ke Indonesia guna menopang proses kerjanya mesin ekonomi dan politik. Mereka kini sudah dapat memperoleh tenaga terampil dari bangsa pribumi yang bersedia dibayar jauh dibawah gaji pegawai yang didatangkan dari Eropa. Sebagian besar dari kaum terdidik bangga dapat memperoleh pengetahuan dan pekerjaan yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Mereka tidak resah dengan posisinya yang telah tercerabut secara kultural dari budaya masyarakatnya karena berkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki telah berhasil memperoleh kehidupan yang lebih nyaman dibanding kebanyakan orang.
Ternyata selain berhasil memperoleh sesuatu yang diharapkan dari lembaga pendidikan modern, penjajah juga menghadapi hasil yang tidak diharapkan (unintended result). Sebagian kecil dari kalangan terdidik mulai bangkit kesadaran kritis yang tidak segan-segan mempertanyakan paspor budaya yang berlaku. Mereka mulai mengalami kegelisahan intelektual. Mereka mulai menyadari akan terjadinya proses ketidakadilan, pembodohan dan pemiskinan yang dilakukan oleh bangsa penjajah. Kalangan terdidik yang resah melihat realitas tersebut mulai menyadari akan sistem yang tidak adil. Untuk menentang sistem tersebut diperlukan cara berjuang yang baru, yaitu perjuangan yang tidak hanya mengandalkan senjata dan nilai-nilai primordial. Adanya kesadaran akan perubahan strategi perjuangan yang mengandalkan pada akal tersebut mendorong pelbagai usaha pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat di lingkungannya. Beberapa dokter menyadari penyakit masyarakat bukan hanya sebatas kesehatan biologis yang disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti mal nutrisi atau serangan virus. Mereka rentan sakit karena mereka miskin dan bodoh akibat adanya proses eksploitasi yang dilakukan penjajah. Jadilah para dokter menyingsingkan lengan baju untuk mencerdaskan masyarakat dan bangsanya, bukan asyik mengeksploitasi pasien untuk memperoleh uang yang banyak.
Ternyata usaha pencerdasan masyarakat tidak dapat berjalan maksimal hanya dengan mengandalkan semangat karitas (charity). Anak-anak pergerakan kemudian berusaha membangun organisasi modern. Berangkat dari kondisi inilah mereka kemudian mempertajam perjuangan menjadi pergerakan sehingga kemudian jaman mereka dikenal sebagai jaman pergerakan nasional. Embrio nasionalisme mulai tumbuh dalam dunia perjuangan bangsa Indonesia.
Organisasi modern yang pada mulanya didirikan masih sangat diwarnai oleh dimensi primordial, yaitu dengan mengedepankan etnisitas (Budi Utomo) dan agama (Sarekat Islam). Indische Party yang berusaha melakukan terobosan secara radikal kurang berhasil memperoleh dukungan dari akar rumput dan tidak siap menghadapi politik represif pemerintah kolonial. Ketiga pemimpinya kemudian dibuang ke luar negeri sehingga mereka tidak lagi dapat mempertahankan organisasinya. Posisi dan dominasi organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam kemudian menjadi menonjol sampai dengan awal tahun 1920-an. Posisi mereka kemudian digantikan oleh organisasi komunis PKI yang sejak awal tahun 1927 tidak dapat eksis lagi. Tahun 1910-an dan pertengahan 1920-an dunia pergerakan Indonesia sangat diwarnai oleh ketegangan antara kelompok Islam dan Komunis. Keduanya relatif masih tertarik dengan gerakan internasional dan kurang mengakar pada nasionalisme. SI masih cenderung dan mengidolakan Pan Islamisme sementara PKI masih gandrung dan tunduk pada Komintern.
Dinamika dunia pergerakan yang pada mulanya lebih mengarah pada primordialisme dan kemudian bergeser menjadi internasionalisme menghasilkan sintesis pemikiran yang mengarah pada nasionalisme sebagaimana tercermin dari mulai dominanya organisasi dan wacana nasionalisme sejak akhir tahun 1920-an.
Wawasan dan wacana kebangsaan mulai menonjol pada akhir tahun 1920-an. Pada tahun 1925 Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar/mahasiswa di Belanda berhasil membuat manifesto politik yang dalam mengembangkan nasionalisme berprinsip pada unity, liberty dan equality.

PI mampu menganalisis kolonialisme di Indonesia secara mendasar dan memberikan solusi perjuangan yang terdiri dari tiga prinsip, yaitu;
1.       Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri,
2.  Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun,
3.  Tanpa persatuan yang kokoh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan tidak akan tercapai.

Manifesto politik PI kemudian sangat berpengaruh terhadap pergerakan di Indonesia. Nasionalisme yang diusahakan berkembang adalah nasionalisme yang bercirikan keterbukaan (inklusif), yaitu nasionalisme yang tidak tersekat oleh latar belakang etnis, agama dan bahasa melainkan mendasarkan oleh perasaan senasib dan seperjuangan. Karena kita sama-sama senasib dijajah oleh Belanda dan mempunyai keinginan kehidupan yang lebih baik dan sederajat dengan bangsa merdeka lainnya itulah kita menciptakan tali persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air.Kebangsaan merupakan sebuah konstruksi dari sebuah visi yang harus diperjuangkan bukan sebuah kenyataan yang telah ditentukan oleh nasib dan takdir. Untuk itu mereka tidak bersedia bertopang dagu melainkan terus berusaha menyingsingkan lengan baju demi terwujudnya komunitas baru yang lintas etnis bahkan trans-etnis.
Belajar dari sejarah perkembangan nasionalisme dan kapitalisme yang terjadi, anak-anak pergerakan tidak ingin nasionalisme yang berkembang di Indonesia didominasi oleh golongan borjuis. Mereka tidak ingin rakyat Indonesia yang menderita dalam tananan feodalisme dan imperialisme tetap menjadi objek eksploitasi, sehingga nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme kerakyatan. Nasionalisme yang berbasis serta berorientasi pada rakyat. Rakyat tidak boleh diremehkan dan dilecehkan. Kaum marhaen dan kaum dhu’afa yang sering dinista dan diperlakukan tidak adil. Dalam pergaulan hidup mereka sering tidak berdaya dan ditindas. Mereka menjadi kaum yang teraniaya secara kultural, ekonomi dan politik. Jadilah mereka kaum mustad’afin. Mental inlander, mental yang merasa rendah dan tidak percaya diri disebabkan oleh adanya dominasi dan hegemoni bangsa penjajah.
Untuk membangun nasionalisme yang merakyat, rakyat harus di posisikan sebagai subjek, baik subjek politik, ekonomi maupun budaya. Mereka harus ditempatkan sebagai subjek dengan pelbagai hak-hak dasar kemanusiannya.
Berhubung rakyat Indonesia adalah masyarakat yang sejak awal kehidupannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai religiusitas dan menjadi bagian dari modal sosial yang ada maka warna nasionalisme Indonesia selain bersifat inkulsif, kerakyatan juga bersifat religius. Nasionalime religius merupakan perwujudan dari kalangan Islam akan sebuah konsep ukhuwah wathoniyah.
Sebagai bangsa yang merasakan pahit getirnya dijajah, The Founding Fathers tidak ingin nasionalisme bangsa Indonesia kemudian berubah menjadi nasionalisme yang sempit, jingoisme atau chauvinisme. Untuk ini nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menciptakan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariah) menjadi landasan dalam berpolitik. Politik tidak lagi dimaknai sebagai Power Over melainkan Power With. Kondisi ini relevan dengan istilah power yang pada mulanya berasal dari bahasa Latin posse yang mempunyai arti to be able to, bukan hanya sekedar the relationship of domination.Cheating relations yang sering terjadi antara pemimpin dan rakyat maupun antar rakyat dengan rakyat serta antar pemimpin harus di minimalisir.

Untuk mencapai sekaligus merealisasikan nasionalisme di atas dibutuhkan kemandirian politik, budaya dan ekonomi.Maka wajar kalau pada masa pergerakan nasional usaha yang dilakukan adalah berusaha mencapai kemerdekaan politik agar bangsa kita dapat merdeka dan menentukan nasib bangsanya secara merdeka tanpa di eksploitasi bangsa asing. Perjuangan anak-anak pergerakan yang berdialektika dengan pelbagai peristiwa sejarah dunia pada akhirnya berhasil membawa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945

Diperlukan Rumusan Baru Tentang Wawasan Kebangsaan

Sebagaimana telah kita sadari bahwa arus globalisasi seolah telah menghilangkan batas antar negara. Perbedaan identitas antara “bangsa kita” dengan “bangsa mereka” telah menjadi kabur. Dilihat dari aspek ekonomi-moneter, informasi, teknologi hubungan antar negara seolah tidak lagi ada lembaga yang berdaulat. Jargon yang dikembangkan Amerika sebagai masyarakat dunia sebagai pengganti dunia bebas seolah telah menetrasi kedalam kesadaran kolektif masyarakat. Nasionalisme seolah tidak dibutuhkan lagi. Dalam konteks yang demikian dibutuhkan perenungan kembali terhadap pelbagai asumsi yang terkait dengan nasionalisme agar kita tidak mengidap amnesia struktural.
Di masa lalu nasionalisme dengan mudah dapat digambarkan dengan metafor identitas antar bangsa yang dijajah dengan bangsa yang menjajah. Mereka secara fisik dengan mudah dapat dikenalkan pada masyarakat luas. Itulah tahap kolonialisme. Namun sejak era neo-kolonialisme kekuatan kapitalis tidak lagi dianggap sebagai musuh, tetapi justru dianggap sebagai juru selamat karena berhasil memberikan bantuan modal dan skill. Belum sampai muncul kesadaran yang tuntas akan kungkungan neo-kolonialisme kapitalisme telah muncul dengan wajah baru yaitu neo-neo kolonialisme yang lebih mengandalkan informasi. Kekuatan kapitalis global telah dijadikan sebagai pelindung dan penyelamat bangsa yang terpuruk.
Sudah barang tentu ada pelbagai pilihan untuk menghadapi ancaman kapitalisme yang kini dalam wacana telah melaksanakan agenda neoliberalisme mulai dari kesediaan untuk menganut nasionalisme yang sempit dan mengisolasi diri, menghadapi kekuatan kekuatan kapitalisme secara diametral dan frontal hingga pilihan pada sikap yang kreatif untuk tetap mandiri dalam berinteraksi hingga pasrah bongkokan pada agenda kapitalisme global. Pilihan paling ektrim dengan mengisolasi diri dari pergaulan dunia jelas tidak realistis dus ahistoris. Pilihan yang terlalu permisif terhadap agenda neoliberalisme jelas asosial dus ahistoris. Sementara menghadapi neoliberalisme secara frontal dan diametral sulit terealisir dalam kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik bangsa Indonesia yang sangat rapuh.
Barangkali langkah yang paling mungkin adalah berelasi dengan kapitalisme global dengan tetap kritis dan kreatif dalam mensiasatinya. Agar tidak larut dalam proses globalisasi yang lebih banyak menguntungkan kapitalisme, proses pencerdasan bangsa menjadi tuntutan utama. Masyarakat yang cerdas tidak dengan mudah larut dengan proses homogenisasi pola pikir dan gaya hidup –gaya dan pola makan hingga cara berpikir-- yang semakin marak di jaman globalisasi.
Keprihatinan bangsa dan masyarakat yang sedang terjadi dapat menjadi lahan untuk merenung dan mempertanyakan serta merumuskan identitas diri serta membangun kesadaran kolektif.Perasaan rendah diri (inferiority feeling) yang melanda bangsa Indonesia perlu digugat kembali sehingga kita dapat berdiri tegak dan menatap kedepan. Potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus dibangkitkan kembali dengan cara disiplin dan kerja keras. Kualitas diri dan prestasi tidak akan dapat diperoleh tanpa ada kerja keras sehingga kemungkinan perubahan struktur dapat di siasati secara cerdas.
Mereka yang cerdas dapat memahami historisitas diri dan masyarakatnya, sehingga dapat berelasi dengan orang lain. Sebagai individu perlu berelasi dengan individu atau kelompok lain sehingga kebutuhan akan kerjasama dan membangun jejaring (networking) menjadi kebutuhan.
Dalam proses membangun dan mengembangkan jejaring dibutuhkan saling percaya. Saling percaya hanya akan muncul kalau dilandasi oleh kejujuran dan tuntutan untuk saling menjaga kualitas. Kecerdasan, kepercayaan diri, jejaring yang dilandasi oleh kejujuran tidak hanya dapat membangun komunitas baru yang lebih baik, melainkan juga dapat menghapus stigma rendah diri, sektarianisme dan otoriterianisme.
Kapan kita bangga sebagai bangsa Indonesia? Negara Indonesia yang mempunyai kekayaan alam luar biasa namun kehidupan sebagian besar masyarakatnya sangat menderita bukanlah akibat takdir, melainkan kelalaian kita sebagai manusia yang terlalu cepat pasrah dan menyerah sebelum bekerja keras membanting tulang, memeras otak, menegakan keadilan dan larut dengan buaian kesadaran palsu yang diciptakan kapitalisme. Di pundak warga yang sadar akan situasi keprihatinan yang dihadapi bangsa obor nasionalisme dapat dinyalakan untuk menerangi rimba kegelapan. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga kita, organisasi kita, masyarakat kita dan nantinya akan bermuara pada bangsa kita. Semoga dari aktivitas yang kecil dapat merembes kemana-mana sehingga impian the founding fathers dan kita menjadi bangsa yang merdeka, adil dan makmur dapat terwujud. Amien.

Wednesday 5 June 2013

Apakah Nasionalisme Masih Dibutuhkan Di Era Globalisasi Ini?

Sebagaimana telah kita sadari bahwa arus globalisasi seolah telah menghilangkan batas antar negara. Perbedaan identitas antara “bangsa kita” dengan “bangsa mereka” telah menjadi kabur. Dilihat dari aspek ekonomi-moneter, informasi, teknologi hubungan antar negara seolah tidak lagi ada lembaga yang berdaulat. Jargon yang dikembangkan Amerika sebagai masyarakat dunia sebagai pengganti dunia bebas seolah telah menetrasi kedalam kesadaran kolektif masyarakat. Nasionalisme seolah tidak dibutuhkan lagi.
Fakta membuktikan bahwa setiap bangsa masih membutuhkan dan menegakkan nasionalisme. Bagaimana kita mengetahui bangsa malaysia harus membatasi jumlah pekerja yang datang dari luar negeri, termasuk mengusir TKI, Amerika yang masih tetap mempermasalahkan kematian beberapa warganya di Irian. Bagaimana bangsa-bangsa maju masih mengenakan pembatasan(kuota) pada produk negara kita?.
Sudah barang tentu ada pelbagai pilihan untuk menghadapi ancaman kapitalisme di era globalisasi yang kini telah melaksanakan agenda neo liberalisme. Kita tidak pasrah bongkokan terhadap perkembangan kapitalisme di era globalisasi ini. Barangkali langkah yang paling mungkin adalah berelasi dengan kapitalisme global dengan tetap kritis dan kreatif dalam mensiasatinya. Agar tidak larut dalam proses globalisasi yang lebih banyak menguntungkan kapitalisme, proses pencerdasan bangsa menjadi tuntutan utama. Masyarakat yang cerdas tidak dengan mudah larut dengan proses penyeragaman pola pikir dan gaya hidup –gaya dan pola makan hingga cara berpikir-- yang semakin marak di jaman globalisasi.
Keprihatinan bangsa dan masyarakat yang sedang terjadi dapat menjadi lahan untuk merenung dan mempertanyakan serta merumuskan identitas diri serta membangun kesadaran kolektif.Perasaan rendah diri (inferiority feeling) yang melanda bangsa Indonesia perlu digugat kembali sehingga kita dapat berdiri tegak dan menatap kedepan. Potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus dibangkitkan kembali dengan cara disiplin dan kerja keras. Kualitas diri dan prestasi tidak akan dapat diperoleh tanpa ada kerja keras sehingga kemungkinan perubahan struktur dapat disiasati secara cerdas.
Mereka yang cerdas dapat memahami historisitas diri dan masyarakatnya, sehingga dapat berelasi dengan orang lain. Sebagai individu perlu berelasi dengan individu atau kelompok lain sehingga kebutuhan akan kerjasama dan membangun jejaring (networking) menjadi kebutuhan. Dalam proses membangun dan mengembangkan jejaring dibutuhkan saling percaya. Saling percaya hanya akan muncul kalau dilandasi oleh kejujuran dan tuntutan untuk saling menjaga kualitas. Kecerdasan, kepercayaan diri, jejaring yang dilandasi oleh kejujuran tidak hanya dapat membangun komunitas baru yang lebih baik, melainkan juga dapat menghapus stigma rendah diri, sektarianisme dan otoritarianisme.

Kapan kita bangga sebagai bangsa Indonesia? Negara Indonesia yang mempunyai kekayaan alam luar biasa namun kehidupan sebagian besar masyarakatnya sangat menderita bukanlah akibat takdir, melainkan kelalaian kita sebagai manusia yang terlalu cepat pasrah dan menyerah sebelum bekerja keras membanting tulang, memeras otak, menegakan keadilan dan larut dengan buaian kesadaran palsu yang diciptakan kapitalisme. Di pundak warga yang sadar akan situasi keprihatinan yang dihadapi bangsa obor nasionalisme dapat dinyalakan untuk menerangi rimba kegelapan. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga kita, organisasi kita, masyarakat kita dan nantinya akan bermuara pada bangsa kita. Semoga dari aktivitas yang kecil dapat merembes kemana-mana sehingga impian the founding fathers dan kita menjadi bangsa yang merdeka, adil dan makmur dapat terwujud. Amien.

Mengapa Nasionalisme Belum Dapat Menjadikan Indonesia Adil dan Makmur

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya ternyata nasionalisme di Indonesia belum dapat diterapkan karena masih adanya beberapa kelemahan. 
Akibatnya cita-cita mencapai masyarakat yang adil dan makmur belum tercapai. Selama ini masih banyak kekurangan yang terjadi dalam melaksanakan nasionalisme. Musuh-musuh nasionalisme, yaitu feodalisme dan kapitalisme ternyata berhasil memainkan peran setelah Indonesia merdeka.
Kaum feodalis dan kapitalis kemudian mempersempit nasionalisme pada ketundukan pada penguasa saja, sehingga mereka yang kritis dianggap tidak nasionalis. Ironisnya kaum feodalis yang bersekutu dengan kaum kapitalis lebih banyak berperan sebagai komprador.
Kepentingan bangsa dan negara dikorbankan untuk memenuhi selera mereka, sehingga budaya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi merajalela. Belajar dari pengalaman tersebut kini sudah saatnya bagi kita selain berdiskusi tentang nasionalisme juga sangat diperlukan realisasinya.
  • Bagaimana Cara Merealisasikan Nasionalisme?

Era reformasi yang lebih banyak dikendalikan oleh kekuatan asing menyebabkan proses perubahan tidak dapat menguntungkan rakyat dan bangsa Indonesia. Rasa percaya diri untuk bangkit dari keterpurukan telah lenyap karena bangsa kita telah kehilangan TRUST. Elite tidak percaya dengan dirinya sendiri sehingga perilaku mereka cenderung korup, elitis dan bergaya selebritis. Rakyat semakin kesulitan mencari figur teladan. Mereka heran melihat pola hidup elite yang seolah tidak pernah kesulitan ekonomi di tengah-tengah bangsanya yang sedang sekarat. Wawasan kebangsaan yang diperjuangkan oleh The Founding Fathers sedang mengalami ujian yang berat.
Rakyat yang sudah tidak percaya pada pemimpin indikator dari lapuknya kebangsaan karena masing-masing pihak telah kehilangan ikatan batin dan ideologis dalam mengggapai kehidupan sekarang dan masa depan. Inilah sebenarnya salah satu ancaman disintegrasi yang cukup mendasar.Untuk itu diperlukan usaha yang serius dan terus menerus dalam membangun kembali bingkai kebangsaan dengan cara membangun kesadaran diri dan jaringan di masyarakat.
Tidak mungkin kita membangun wawasan kebangsaan yang baik kalau dalam diri kita belum ada usaha untuk mengembangkan etos kerja yang tinggi serta semangat pengabdian yang tulus. Bagaimana kita dapat membangun dan merangkai saling kepercayaan kalau diri kita sendiri tidak dipercaya oleh orang lain? Disiplin, dedikasi dan integritas pribadi dari masing-masing pribadi yang tergabung dalam usaha membangkitkan kembali wawasan kebangsaan menjadi prasyarat mendasar. Untuk itu usaha membangun wawasan kebangsaan harus dimulai dari kita.
Mari kita mulai memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan pertimbangan akal sehat sehingga kita tidak mengaburkan antara need dan want. Pola hidup konsumtif yang mudah dikendalikan oleh hipnotis iklan akibat karena kurangnya kemampuan membedakan want dan need, sehingga mudah menjadi sosok manusia yang berdimensi tunggal, one dimenstional man. Mengapa kita harus ganti peralatan yang ada sementara fungsinya tetap sama gara-gara ada iklan yang seolah dengan benda tersebut gengsi kita naik? Saya setuju mereka yang kelebihan uang digunakan untuk melibatgandakan modal. Bila mereka punya modal ada peluang membeli aset ekonomi bangsa sehingga tidak terjual pada bangsa lain. Syukur kalau sebagian diantara hartanya itu juga untuk memberi energi gerakan.
Kejujuran di antara kita akan menjadi modal dasar dalam menggerakkan organisasi. Hanya dengan kejujuran itulah masyarakat yang ingin kita jadikan sasaran mengembangkan dan membangkitkan kembali wawasan kebangsaan dapat percaya. Bagaimana kita memaksa orang lain percaya kalau diantara kita masih ada saling ketidakpercayaan. Untuk itu transparansi dan akuntabilitas organisasi wajib mendapat prioritas sehingga organisasi yang ada dapat berubah menjadi institusi. Sebuah lembaga yang penuh dengan pelbagai nilai ketulusan, kejujuran dan keseriusan punya potensi menjadi motor penggerak perubahan yang tidak hanya semata-mata mengandalkan citra melainkan pada dedikasi dan kualitas yang sesungguhnya. Tiadanya kebanggan terhadap produk dalam negeri dan khususnya pada produk bangsa sendiri dan terlalu cepat bangga dengan produk asing karena selama ini kita tidak mengutamakan kualitas. Produk bangsa sendiri yang berhasil menjaga kualitas akan menjadi pilihan. Contoh dari kaos Dagadu hingga kosmetik Sari Ayu membuktikan hal itu.
Di antara kita perlu saling berbagi informasi terhadap problem masyarakat sehingga wawasan kebangsaan yang selama ini cenderung normatif dapat menjadi sesuatu yang workable. Maksudnya pada tataran pengembangan wawasan kebangsaan yang berdimensi kerakyatan kita perlu menekankan kesadaran kehidupan yang selalu berbasis dan berorientasi pada rakyat. Jadi pelbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat perlu mempertimbangkan kemanfaatannya bagi masyarakat.
Agar masyarakat tidak terkotak secara primordial maka usaha yang dilakukan perlu adanya jaringan yang sinergis dan fungsional. Disini lembaga sangat berperan dalam ikut mendampingi proses pembangunan dan pengembangan jejaring. Tanpa adanya jejaring yang kuat potensi mereka bersaing dengan produk asing tidak akan maksimal. Dalam dimensi religi kesadaran akan kesalehan ritual perlu diimbangi oleh kesalehan sosial sehingga kita dapat menjadi bangsa yang toleran. Kepercayaan diri dan kemauan untuk bekerjasama merupakan modal sosial yang dapat menggerakkan dan merealisasikan wawasan kebangsaan.

Barangkali kalau masyarakat sasaran sudah dapat bangkit dari ketidakpercayaan diri itulah akan muncul suatu harapan. Sebuah harapan di seberang jembatan emas sana agak ada masyarakat yang adil dan makmur, suatu bangsa yang merdeka secara politik, mandiri secara ekonomi serta berkepribadian yang tinggi. Bila anak-anak pergerakan dulu menggambarkan jembatan emas itu adalah kemerdekaan, maka kita harus menyadarkan mereka bahwa jembatan emas itu adalah kerja keras dan kerjasama yang dilandasi oleh kejujuran dan ketulusan untuk kemajuan dan kemakmuran bersama.

Apa yang menjadi ciri utama nasionalisme Indonesia?

Nasionalisme yang inklusif. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bercirikan keterbukaan (inklusif), yaitu nasionalisme yang tidak tersekat oleh latar belakang etnis, agama dan bahasa melainkan mendasarkan oleh perasaan senasib dan seperjuangan. Karena kita sama-sama senasib dijajah oleh Belanda dan mempunyai keinginan kehidupan yang lebih baik dan sederajat dengan bangsa merdeka lainnya itulah kita menciptakan tali persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air.Kebangsaan merupakan sebuah konstruksi dari sebuah visi yang harus diperjuangkan bukan sebuah kenyataan yang telah ditentukan oleh nasib dan takdir. Untuk itu mereka tidak bersedia bertopang dagu melainkan terus berusaha menyingsingkan lengan baju demi terwujudnya komunitas baru yang lintas etnis bahkan trans-etnis.
Nasionalisme yang kerakyatan. Belajar dari sejarah perkembangan nasionalisme dan kapitalisme yang terjadi, anak-anak pergerakan tidak ingin nasionalisme yang berkembang di Indonesia didominasi oleh golongan borjuis. Mereka tidak ingin rakyat Indonesia yang menderita dalam tananan feodalisme dan imperialisme tetap menjadi objek eksploitasi, sehingga nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme kerakyatan. Nasionalisme yang berbasis serta berorientasi pada rakyat. Rakyat tidak boleh diremehkan dan dilecehkan. Kaum marhen dan kaum dhu’afa yang sering dinista dan diperlakukan tidak adil. Dalam pergaulan hidup mereka sering tidak berdaya dan ditindassehingga menjadi kaum yang teraniaya secara kultural, ekonomi dan politik. Jadilah mereka kaum mustad’afin. Mereka harus ditempatkan sebagai subjek dengan pelbagai hak-hak dasar kemanusiannya.
Bukan chauvinisme. Namun sebagai bangsa yang merasakan pahit getirnya dijajah, The Founding Fathers tidak ingin nasionalisme bangsa Indonesia kemudian berubah menjadi nasionalisme yang sempit, jingoisme atau chauvinisme. Untuk ini nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menciptakan persaudaraan sesama manusia menjadi landasan dalam berpolitik. Politik tidak lagi dimaknai sebagai Power Over melainkanPower With.Kondisi ini relevan dengan istilah power yang pada mulanya berasal dari bahasa Latin posse yang mempunyai arti to be able to, bukan hanya sekedar the relationship of domination.

Berdasar keadilan dan kemanusiaan. Menghadapi kondisi bangsa yang sering dieksploitasi dan terciptanya ketidakadilan serta pelanggaran hak asasi manusia, maka nasionalisme yang Indonesia juga sangat menentang ketidakadilan. Nasionalisme harus dikembangkan dengan berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan. Menurut bung Karno, nasionalisme Indonesia harus berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan baik dalam proses maupun mencapai tujuannya.

Apakah nasionalisme kita menjiplak barat?

Jawabnya tidak. Memang nasionalisme yang berkembang di Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan nasionalisme di Barat, tetapi bapak pendiri bangsa kita tidak hanya sekedar menirunya. Selain mengambil unsur yang positif dari Barat, para pendiri bangsa juga membuang unsur negatifnya. Unsur yang positif dari Barat tersebut kemudian dipadukan dengan unsur yang positif yang sudah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia. Para bapak pendiri bangsa termasuk kelompok local genius, yaitu seseorang atau kelompok orang yang berhasil memadukan budaya luar dan budaya masyarakatnya sehingga mampu menjadi budaya yang baru. Untuk itu kita perlu mempelajari sejarah nasionalisme kita.
lalu Kapan Nasionalisme Indonesia muncul?
Ada dua jawaban untuk menjawab kapan nasionalisme Indonesia lahir.
Pertama, yang berangkat dari nasionalisme budaya dan kejayaan masa lampu. Pandangan ini beranggapan nasionalisme Indonesia sudah ada sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit
Kedua, pandangan sejarah yang beranggapan bahwa kita merasa senasib dan seperjuangan setelah ada kalangan intelektual yang prihatin di abad XX. Sebagaimana kita ketahui dulu pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah modern. Tujuan utamanya agar dapat memperoleh tenaga terampil yang dibutuhkan oleh pemerintah kolonial dan perusahaan atau perkebunan asing. Ternyata sebagian kecil dari kalangan terdidik mulai bangkit kesadaran kritis. Mereka mulai mengalami kegelisahan intelektual. Mereka mulai menyadari akan terjadinya proses ketidakadilan, pembodohan dan pemiskinan yang dilakukan oleh bangsa penjajah.
Kalangan terdidik yang resah melihat realitas tersebut mulai menyadari akan sistem yang tidak adil. Untuk menentang sistem tersebut diperlukan cara berjuang yangbaru, yaitu perjuangan yang tidak hanya mengandalkan senjata dan nilai-nilai primordial. Adanya kesadaran akan perubahan strategi perjuangan yang mengandalkan pada akal tersebut mendorong pelbagai usaha pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat di lingkungannya.
Ternyata usaha pencerdasan masyarakat tidak dapat berjalan maksimal hanya dengan mengandalkan semangat belas kasihan sehingga kemudian muncul usaha membangunorganisasi modern. Berangkat dari kondisi inilah mereka kemudian mempertajam perjuangan menjadi pergerakan. Padajaman pergerakan nasional embrio nasionalisme mulai tumbuh dalam dunia perjuangan bangsa Indonesia.
Organisasi modern yang pada mulanya didirikan mesih sangat diwarnai oleh dimensi primordial, yaitu dengan mengedepankan etnisitas (Budi Utomo) dan agama (Sarekat Islam). Indische Party yang berusaha melakukan terobosan secara radikal kurang berhasil memperoleh dukungan dari akar rumput dan tidak siap menghadapi politik represif pemerintah kolonial. Posisi dan dominasi organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam kemudian menjadi menonjol sampai dengan awal tahun 1920-an. Posisi mereka kemudian digantikan oleh organisasi komunis PKI yang sejak awal tahun 1927 tidak dapat eksis lagi. Tahun 1910-an dan pertengahan 1920-an dunia pergerakan Indonesia sangat diwarnai oleh ketegangan antara kelompok Islam dan Komunis.
Pada tahun 1925 Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar/mahasiswa di Belanda berhasil membuat manifesto politik yang dalam mengambangkan nasionalisme berprinsippada unity, liberty dan equality. PI mampu menganalisis kolonialisme di Indonesia secara mendasar dan memberikan solusi perjuangan yang terdiri dari tiga prinsip, yaitu; a. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri, b, Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun, c,Tanpa persatuan yang kokoh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan tidak akan tercapai.

Dan sejak tahun 1927 nasionalisme Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ir. Soekarno yang mendirikan PNI dan Moh. Hatta yang menjadi ketua PNI pendidikan. Kedua tokoh tersebut sangat berpengaruh dalam membangun nasionalisme. Apalagi kemudian mereka berdua menjadi proklamator bangsa. Peran bung Karno dan Bung Hatta dalam proses pergerakan serta membangun bangsa sangat besar. Berkat kecerdasan bapak pendiri bangsa itulah nasionalisme yang ada di Indonesia tidak ingin meniru/menjiplak nasionalisme yang berkembang di barat, sehingga ciri-ciri nasionalisme di Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat.

Siapakah Kelompok Borjuis Itu?

Kelompok borjuis golongan pengusaha yang suka melipat gandakan usahanya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka merupakan golongan orang-orang kaya. Kaum borjuis berhasil mendobrak tatanan feodal yang dikuasai oleh kaum agama dan bangsawan. Kepemilikan modal oleh mereka mampu menjadi alat yang efektif dalam meruntuhkan sendi-sendi ekonomi sistem feodal.
Tatanan politik yang hanya menguntungkan kaum bangsawan dan kaum agama ditentang.Mereka berusaha menggantinya dengan tatanan politik yang mengutamakan kebebasan. Mereka beranggapan hanya melalui kebebasan itulah kaum borjuis dapat berkembang secara maksimal. Etos kerja yang tinggi dan budaya hemat/suka menabung mampu menjadikan kaum borjuis mengembangkan tatanan demokrasi liberal yang menguntungkan kaumnya. Ternyata setelah berkuasa kaum borjuis hanya berusaha memperjuangkan kepentingan kelompoknya, sehingga jurang antara yang kaya dan miskin menjadi semakin lebar. Mereka suka melakukan monopoli.

Kaum feodal pada mulanya sangat anti terhadap ketidakadilan dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum feodal, namun sangat permisif terhadap proses eksploitasi yang dilakukan oleh kapitalisme. Tatanan imperialisme-kolonialisme selama menguntungkan kaumnya tidak akan ditentang, sehingga wajar kalau kolonialisme di Amerika ditentang sementara kolonialisme di wilayah lain, khususnya Asia-Afrika tidak ditentang. Di Indonesia kejadian tersebut terkenal dengan istilah Politik Pintu Terbuka. Sebuah proses eksploitasi yang memberi peluang pelbagai swasta asing untuk ikut terlibat dalam menanamkan modalnya di Indonesia.

Mengenal Nasionalisme

1.      Apa arti nasionalisme?
Istilah nasionalisme sudah ada sejak jaman Yunani-Romawi. Istilah tersebut pada mulanya berasal dari bahasa Latin natio yang berasal dari kata nascor. Kata nascor berarti saya lahir. Waktu itu istilah natio tidak dikaitkan dengan pengertian politik atau ideologi. Pada masa kekuasaan Romawi istilah natiomempunyai konotasi yang kurang baik yaitu untuk mengolok-olok orang asing. Dan di abad pertengahan istilah nasion diidentikkan dengan kelompok pelajar/mahasiswa asing. Jadi sampai dengan akhir abad pertengahan istilah nation belum mempunyai makna ideologis.
Pada saat timbul revolusi Perancis istilah nation mempunyai muatan politis-ideologis sebagaimana tercermin dari penamaan parlemen Perancis assemblee nationale. Terjadi perubahan makna lembaga politik yang sebelumnya sangat ekslusif dan dikuasai golongan bangsawan dan agama menjadi egaliter, yaitu dilibatkannya semua lapisan masyarakat dengan mengacu pada istilah nation yang ditafsirkan sebagai bangsa sebagai penduduk resmi suatu negara. Munculnya konsep nation-state telah membawa perubahan pada administrasi negara secara modern, salah satu yang menonjol adalah mulai relatif permanennya batas wilayah suatu negara.

Perkembangan nasionalisme di Perancis sangat diwarnai oleh semangat revolusi Perancis yang bersemboyan liberty (kebebasan), egality (persamaan) dan fraternity (persaudaraan). Sejak saat itu konsep negara bangsa (nation-state) menjadi dominan di kawasan Eropa dan kemudian menyebar ke benua lain Karena yang berperan utama pada saat itu adalah kelompok borjuis maka nasionalisme sangat dipengaruhi oleh paham kebebasan.