Social Icons

Pages

Sunday 9 June 2013

Nasionalisme Di Indonesia

Seiring dengan berjalannya waktu berbagai perusahaan swasta serta organisasi pemerintahan semakin membutuhkan tenaga terampil untuk menopang bekerjanya sistem. Kondisi tersebut mengharuskan pemerintah kolonial membuka berbagai sekolah modern agar diperoleh tenaga terampil. Dalam proses pendidikan dengan mengenalkan pola pikir yang mengandalkan pada rasio tersebut membawa pengaruh pada bangsa Indonesia. Elite yang sebelumnya masih didominasi oleh kalangan bangsawan (elite tradisional) kemudian mulai tersaingi dengan elite profesional/modern karena tidak semua yang didik itu berasal dari kalangan bangsawan. Dan tidak semua bangsawan semuanya rela dan siap mengikuti pendidikan modern.
Hasil yang diharapkan (intended result) dari lembaga pendidikan modern adalah diperolehnya tenaga terampil yang siap pakai. berbagai perusahaan swasta maupun kantor pemerintahan tidak lagi harus tergantung pada bangsa Eropa yang didatangkan ke Indonesia guna menopang proses kerjanya mesin ekonomi dan politik. Mereka kini sudah dapat memperoleh tenaga terampil dari bangsa pribumi yang bersedia dibayar jauh dibawah gaji pegawai yang didatangkan dari Eropa. Sebagian besar dari kaum terdidik bangga dapat memperoleh pengetahuan dan pekerjaan yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Mereka tidak resah dengan posisinya yang telah tercerabut secara kultural dari budaya masyarakatnya karena berkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki telah berhasil memperoleh kehidupan yang lebih nyaman dibanding kebanyakan orang.
Ternyata selain berhasil memperoleh sesuatu yang diharapkan dari lembaga pendidikan modern, penjajah juga menghadapi hasil yang tidak diharapkan (unintended result). Sebagian kecil dari kalangan terdidik mulai bangkit kesadaran kritis yang tidak segan-segan mempertanyakan paspor budaya yang berlaku. Mereka mulai mengalami kegelisahan intelektual. Mereka mulai menyadari akan terjadinya proses ketidakadilan, pembodohan dan pemiskinan yang dilakukan oleh bangsa penjajah. Kalangan terdidik yang resah melihat realitas tersebut mulai menyadari akan sistem yang tidak adil. Untuk menentang sistem tersebut diperlukan cara berjuang yang baru, yaitu perjuangan yang tidak hanya mengandalkan senjata dan nilai-nilai primordial. Adanya kesadaran akan perubahan strategi perjuangan yang mengandalkan pada akal tersebut mendorong pelbagai usaha pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat di lingkungannya. Beberapa dokter menyadari penyakit masyarakat bukan hanya sebatas kesehatan biologis yang disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti mal nutrisi atau serangan virus. Mereka rentan sakit karena mereka miskin dan bodoh akibat adanya proses eksploitasi yang dilakukan penjajah. Jadilah para dokter menyingsingkan lengan baju untuk mencerdaskan masyarakat dan bangsanya, bukan asyik mengeksploitasi pasien untuk memperoleh uang yang banyak.
Ternyata usaha pencerdasan masyarakat tidak dapat berjalan maksimal hanya dengan mengandalkan semangat karitas (charity). Anak-anak pergerakan kemudian berusaha membangun organisasi modern. Berangkat dari kondisi inilah mereka kemudian mempertajam perjuangan menjadi pergerakan sehingga kemudian jaman mereka dikenal sebagai jaman pergerakan nasional. Embrio nasionalisme mulai tumbuh dalam dunia perjuangan bangsa Indonesia.
Organisasi modern yang pada mulanya didirikan masih sangat diwarnai oleh dimensi primordial, yaitu dengan mengedepankan etnisitas (Budi Utomo) dan agama (Sarekat Islam). Indische Party yang berusaha melakukan terobosan secara radikal kurang berhasil memperoleh dukungan dari akar rumput dan tidak siap menghadapi politik represif pemerintah kolonial. Ketiga pemimpinya kemudian dibuang ke luar negeri sehingga mereka tidak lagi dapat mempertahankan organisasinya. Posisi dan dominasi organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam kemudian menjadi menonjol sampai dengan awal tahun 1920-an. Posisi mereka kemudian digantikan oleh organisasi komunis PKI yang sejak awal tahun 1927 tidak dapat eksis lagi. Tahun 1910-an dan pertengahan 1920-an dunia pergerakan Indonesia sangat diwarnai oleh ketegangan antara kelompok Islam dan Komunis. Keduanya relatif masih tertarik dengan gerakan internasional dan kurang mengakar pada nasionalisme. SI masih cenderung dan mengidolakan Pan Islamisme sementara PKI masih gandrung dan tunduk pada Komintern.
Dinamika dunia pergerakan yang pada mulanya lebih mengarah pada primordialisme dan kemudian bergeser menjadi internasionalisme menghasilkan sintesis pemikiran yang mengarah pada nasionalisme sebagaimana tercermin dari mulai dominanya organisasi dan wacana nasionalisme sejak akhir tahun 1920-an.
Wawasan dan wacana kebangsaan mulai menonjol pada akhir tahun 1920-an. Pada tahun 1925 Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar/mahasiswa di Belanda berhasil membuat manifesto politik yang dalam mengembangkan nasionalisme berprinsip pada unity, liberty dan equality.

PI mampu menganalisis kolonialisme di Indonesia secara mendasar dan memberikan solusi perjuangan yang terdiri dari tiga prinsip, yaitu;
1.       Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri,
2.  Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun,
3.  Tanpa persatuan yang kokoh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan tidak akan tercapai.

Manifesto politik PI kemudian sangat berpengaruh terhadap pergerakan di Indonesia. Nasionalisme yang diusahakan berkembang adalah nasionalisme yang bercirikan keterbukaan (inklusif), yaitu nasionalisme yang tidak tersekat oleh latar belakang etnis, agama dan bahasa melainkan mendasarkan oleh perasaan senasib dan seperjuangan. Karena kita sama-sama senasib dijajah oleh Belanda dan mempunyai keinginan kehidupan yang lebih baik dan sederajat dengan bangsa merdeka lainnya itulah kita menciptakan tali persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air.Kebangsaan merupakan sebuah konstruksi dari sebuah visi yang harus diperjuangkan bukan sebuah kenyataan yang telah ditentukan oleh nasib dan takdir. Untuk itu mereka tidak bersedia bertopang dagu melainkan terus berusaha menyingsingkan lengan baju demi terwujudnya komunitas baru yang lintas etnis bahkan trans-etnis.
Belajar dari sejarah perkembangan nasionalisme dan kapitalisme yang terjadi, anak-anak pergerakan tidak ingin nasionalisme yang berkembang di Indonesia didominasi oleh golongan borjuis. Mereka tidak ingin rakyat Indonesia yang menderita dalam tananan feodalisme dan imperialisme tetap menjadi objek eksploitasi, sehingga nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme kerakyatan. Nasionalisme yang berbasis serta berorientasi pada rakyat. Rakyat tidak boleh diremehkan dan dilecehkan. Kaum marhaen dan kaum dhu’afa yang sering dinista dan diperlakukan tidak adil. Dalam pergaulan hidup mereka sering tidak berdaya dan ditindas. Mereka menjadi kaum yang teraniaya secara kultural, ekonomi dan politik. Jadilah mereka kaum mustad’afin. Mental inlander, mental yang merasa rendah dan tidak percaya diri disebabkan oleh adanya dominasi dan hegemoni bangsa penjajah.
Untuk membangun nasionalisme yang merakyat, rakyat harus di posisikan sebagai subjek, baik subjek politik, ekonomi maupun budaya. Mereka harus ditempatkan sebagai subjek dengan pelbagai hak-hak dasar kemanusiannya.
Berhubung rakyat Indonesia adalah masyarakat yang sejak awal kehidupannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai religiusitas dan menjadi bagian dari modal sosial yang ada maka warna nasionalisme Indonesia selain bersifat inkulsif, kerakyatan juga bersifat religius. Nasionalime religius merupakan perwujudan dari kalangan Islam akan sebuah konsep ukhuwah wathoniyah.
Sebagai bangsa yang merasakan pahit getirnya dijajah, The Founding Fathers tidak ingin nasionalisme bangsa Indonesia kemudian berubah menjadi nasionalisme yang sempit, jingoisme atau chauvinisme. Untuk ini nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menciptakan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariah) menjadi landasan dalam berpolitik. Politik tidak lagi dimaknai sebagai Power Over melainkan Power With. Kondisi ini relevan dengan istilah power yang pada mulanya berasal dari bahasa Latin posse yang mempunyai arti to be able to, bukan hanya sekedar the relationship of domination.Cheating relations yang sering terjadi antara pemimpin dan rakyat maupun antar rakyat dengan rakyat serta antar pemimpin harus di minimalisir.

Untuk mencapai sekaligus merealisasikan nasionalisme di atas dibutuhkan kemandirian politik, budaya dan ekonomi.Maka wajar kalau pada masa pergerakan nasional usaha yang dilakukan adalah berusaha mencapai kemerdekaan politik agar bangsa kita dapat merdeka dan menentukan nasib bangsanya secara merdeka tanpa di eksploitasi bangsa asing. Perjuangan anak-anak pergerakan yang berdialektika dengan pelbagai peristiwa sejarah dunia pada akhirnya berhasil membawa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945

No comments:

Post a Comment