Seiring dengan
berjalannya waktu berbagai perusahaan swasta serta organisasi pemerintahan
semakin membutuhkan tenaga terampil untuk menopang bekerjanya sistem. Kondisi
tersebut mengharuskan pemerintah kolonial membuka berbagai sekolah modern agar
diperoleh tenaga terampil. Dalam proses pendidikan dengan mengenalkan pola
pikir yang mengandalkan pada rasio tersebut membawa pengaruh pada bangsa
Indonesia. Elite yang sebelumnya masih didominasi oleh kalangan bangsawan
(elite tradisional) kemudian mulai tersaingi dengan elite profesional/modern
karena tidak semua yang didik itu berasal dari kalangan bangsawan. Dan tidak
semua bangsawan semuanya rela dan siap mengikuti pendidikan modern.
Hasil yang
diharapkan (intended result) dari lembaga pendidikan modern adalah diperolehnya
tenaga terampil yang siap pakai. berbagai perusahaan swasta maupun kantor
pemerintahan tidak lagi harus tergantung pada bangsa Eropa yang didatangkan ke
Indonesia guna menopang proses kerjanya mesin ekonomi dan politik. Mereka kini
sudah dapat memperoleh tenaga terampil dari bangsa pribumi yang bersedia
dibayar jauh dibawah gaji pegawai yang didatangkan dari Eropa. Sebagian besar
dari kaum terdidik bangga dapat memperoleh pengetahuan dan pekerjaan yang
berbeda dengan rakyat kebanyakan. Mereka tidak resah dengan posisinya yang
telah tercerabut secara kultural dari budaya masyarakatnya karena berkat
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki telah berhasil memperoleh kehidupan yang
lebih nyaman dibanding kebanyakan orang.
Ternyata
selain berhasil memperoleh sesuatu yang diharapkan dari lembaga pendidikan
modern, penjajah juga menghadapi hasil yang tidak diharapkan (unintended
result). Sebagian kecil dari kalangan terdidik mulai bangkit kesadaran kritis
yang tidak segan-segan mempertanyakan paspor budaya yang berlaku. Mereka mulai
mengalami kegelisahan intelektual. Mereka mulai menyadari akan terjadinya
proses ketidakadilan, pembodohan dan pemiskinan yang dilakukan oleh bangsa
penjajah. Kalangan terdidik yang resah melihat realitas tersebut mulai
menyadari akan sistem yang tidak adil. Untuk menentang sistem tersebut
diperlukan cara berjuang yang baru, yaitu perjuangan yang tidak hanya
mengandalkan senjata dan nilai-nilai primordial. Adanya kesadaran akan
perubahan strategi perjuangan yang mengandalkan pada akal tersebut mendorong
pelbagai usaha pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat di lingkungannya.
Beberapa dokter menyadari penyakit masyarakat bukan hanya sebatas kesehatan
biologis yang disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti mal nutrisi
atau serangan virus. Mereka rentan sakit karena mereka miskin dan bodoh akibat
adanya proses eksploitasi yang dilakukan penjajah. Jadilah para dokter menyingsingkan
lengan baju untuk mencerdaskan masyarakat dan bangsanya, bukan asyik
mengeksploitasi pasien untuk memperoleh uang yang banyak.
Ternyata usaha
pencerdasan masyarakat tidak dapat berjalan maksimal hanya dengan mengandalkan
semangat karitas (charity). Anak-anak pergerakan kemudian berusaha membangun
organisasi modern. Berangkat dari kondisi inilah mereka kemudian mempertajam
perjuangan menjadi pergerakan sehingga kemudian jaman mereka dikenal sebagai
jaman pergerakan nasional. Embrio nasionalisme mulai tumbuh dalam dunia
perjuangan bangsa Indonesia.
Organisasi
modern yang pada mulanya didirikan masih sangat diwarnai oleh dimensi
primordial, yaitu dengan mengedepankan etnisitas (Budi Utomo) dan agama
(Sarekat Islam). Indische Party yang berusaha melakukan terobosan secara
radikal kurang berhasil memperoleh dukungan dari akar rumput dan tidak siap
menghadapi politik represif pemerintah kolonial. Ketiga pemimpinya kemudian
dibuang ke luar negeri sehingga mereka tidak lagi dapat mempertahankan
organisasinya. Posisi dan dominasi organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam
kemudian menjadi menonjol sampai dengan awal tahun 1920-an. Posisi mereka
kemudian digantikan oleh organisasi komunis PKI yang sejak awal tahun 1927
tidak dapat eksis lagi. Tahun 1910-an dan pertengahan 1920-an dunia pergerakan
Indonesia sangat diwarnai oleh ketegangan antara kelompok Islam dan Komunis.
Keduanya relatif masih tertarik dengan gerakan internasional dan kurang
mengakar pada nasionalisme. SI masih cenderung dan mengidolakan Pan Islamisme sementara
PKI masih gandrung dan tunduk pada Komintern.
Dinamika dunia
pergerakan yang pada mulanya lebih mengarah pada primordialisme dan kemudian
bergeser menjadi internasionalisme menghasilkan sintesis pemikiran yang
mengarah pada nasionalisme sebagaimana tercermin dari mulai dominanya
organisasi dan wacana nasionalisme sejak akhir tahun 1920-an.
Wawasan dan
wacana kebangsaan mulai menonjol pada akhir tahun 1920-an. Pada tahun 1925
Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar/mahasiswa di Belanda berhasil membuat
manifesto politik yang dalam mengembangkan nasionalisme berprinsip pada unity,
liberty dan equality.
PI mampu
menganalisis kolonialisme di Indonesia secara mendasar dan memberikan solusi
perjuangan yang terdiri dari tiga prinsip, yaitu;
1.
Rakyat Indonesia sewajarnya
diperintah oleh pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri,
2. Dalam memperjuangkan
pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun,
3. Tanpa persatuan yang kokoh
dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan tidak akan tercapai.
Manifesto
politik PI kemudian sangat berpengaruh terhadap pergerakan di Indonesia.
Nasionalisme yang diusahakan berkembang adalah nasionalisme yang
bercirikan keterbukaan (inklusif), yaitu nasionalisme yang tidak tersekat oleh
latar belakang etnis, agama dan bahasa melainkan mendasarkan oleh perasaan
senasib dan seperjuangan. Karena kita sama-sama senasib dijajah oleh Belanda
dan mempunyai keinginan kehidupan yang lebih baik dan sederajat dengan bangsa
merdeka lainnya itulah kita menciptakan tali persaudaraan sebagai saudara
sebangsa dan setanah air.Kebangsaan merupakan sebuah konstruksi dari sebuah
visi yang harus diperjuangkan bukan sebuah kenyataan yang telah ditentukan oleh
nasib dan takdir. Untuk itu mereka tidak bersedia bertopang dagu melainkan
terus berusaha menyingsingkan lengan baju demi terwujudnya komunitas baru yang
lintas etnis bahkan trans-etnis.
Belajar dari
sejarah perkembangan nasionalisme dan kapitalisme yang terjadi, anak-anak
pergerakan tidak ingin nasionalisme yang berkembang di Indonesia didominasi
oleh golongan borjuis. Mereka tidak ingin rakyat Indonesia yang menderita dalam
tananan feodalisme dan imperialisme tetap menjadi objek eksploitasi, sehingga
nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme kerakyatan. Nasionalisme
yang berbasis serta berorientasi pada rakyat. Rakyat tidak boleh diremehkan dan
dilecehkan. Kaum marhaen dan kaum dhu’afa yang sering dinista dan diperlakukan
tidak adil. Dalam pergaulan hidup mereka sering tidak berdaya dan ditindas.
Mereka menjadi kaum yang teraniaya secara kultural, ekonomi dan politik.
Jadilah mereka kaum mustad’afin. Mental inlander, mental yang merasa rendah dan
tidak percaya diri disebabkan oleh adanya dominasi dan hegemoni bangsa
penjajah.
Untuk
membangun nasionalisme yang merakyat, rakyat harus di posisikan sebagai subjek,
baik subjek politik, ekonomi maupun budaya. Mereka harus ditempatkan sebagai
subjek dengan pelbagai hak-hak dasar kemanusiannya.
Berhubung
rakyat Indonesia adalah masyarakat yang sejak awal kehidupannya sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai religiusitas dan menjadi bagian dari modal sosial yang ada
maka warna nasionalisme Indonesia selain bersifat inkulsif, kerakyatan juga
bersifat religius. Nasionalime religius merupakan perwujudan dari kalangan
Islam akan sebuah konsep ukhuwah wathoniyah.
Sebagai bangsa
yang merasakan pahit getirnya dijajah, The Founding Fathers tidak ingin
nasionalisme bangsa Indonesia kemudian berubah menjadi nasionalisme yang
sempit, jingoisme atau chauvinisme. Untuk ini nilai-nilai kemanusiaan yang
mampu menciptakan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariah) menjadi
landasan dalam berpolitik. Politik tidak lagi dimaknai sebagai Power Over
melainkan Power With. Kondisi ini relevan dengan istilah power yang pada mulanya
berasal dari bahasa Latin posse yang mempunyai arti to be able to, bukan hanya
sekedar the relationship of domination.Cheating relations yang sering terjadi
antara pemimpin dan rakyat maupun antar rakyat dengan rakyat serta antar
pemimpin harus di minimalisir.
Untuk mencapai
sekaligus merealisasikan nasionalisme di atas dibutuhkan kemandirian politik,
budaya dan ekonomi.Maka wajar kalau pada masa pergerakan nasional usaha yang
dilakukan adalah berusaha mencapai kemerdekaan politik agar bangsa kita dapat
merdeka dan menentukan nasib bangsanya secara merdeka tanpa di eksploitasi bangsa
asing. Perjuangan anak-anak pergerakan yang berdialektika dengan pelbagai
peristiwa sejarah dunia pada akhirnya berhasil membawa bangsa Indonesia
mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945
No comments:
Post a Comment